Senin, 19 Oktober 2020

Sabtu, 17 Oktober 2020

Selingkuh Hati

Makin lama saya makin tak mengerti artinya mencinta. Disadari atau tidak, semakin besar rasa cinta yang kita rasakan, ternyata semakin besar pula rasa takut kehilangan. Artinya kita tidak ingin –dan tidak siap- kehilangan. Padahal di satu sisi kita mesti rela dan ikhlas jika suatu saat apa yang kita cinta itu akan pergi atau kembali pada keadaaan atau posisi yang mungkin “lebih layak” dari apa yang ada saat ini.

  Saya sempat terheran-heran, suatu hari beberapa tahun silam teman dekat saya datang ke kediaman saya di bilangan Rajabasa. Dengan mimik muka yang sedikit keruh dan agak sedih, ia bercerita bahwa baru saja putus hubungan dengan sang pacar alias putus cinta. Ia kemudian bercerita panjang lebar bahwa ia begitu sayang dan cinta dengan sang pacar. Sambil bercerita ia malah sempat melampiaskan kekesalannya dengan memukul beberapa barang di sekitarnya. Menurutnya, sang pacar bertindak sepihak. Tanpa ada penyebab yang fundamental seperti memiliki pilihan lain atau sejenisnya.   Saya berpikir masalahnya selesai. Ternyata tidak. Malam hari sang teman itu datang lagi. Kali ini dengan aksi yang “lebih bodoh” lagi. Setelah bergitar dan menembang sebuah lagu yang tengah hits saat itu “Yang Terdalam” karya Peterpan, ia mengeluarkan sebotol minuman keras. Tentu saja minuman keras “kelas teri” sesuai ukuran kantongnya. Ia berujar bahwa ini cara untuk melenyapkan masalah yang sedang mengganjal di hatinya, sambil bergumam semoga sang pacar akan lebih bahagia setelah tak lagi bersamanya. Rasa benci perlahan mulai menghinggapi perasaan teman saya tersebut.   Efek minuman “kelas kambing” tadi ternyata lumayan repot, karena kondisi sang teman makin tak karuan, selain mengigau ia juga sering loncat-loncat dan agak kalap. Sebagai solusi terakhir, oleh kami teman-temannya yang berada di tempat itu, membawa ia ke kamar mandi dan menguyurnya dengan air sumur. Sampai ia tersadar dan kemudian tertidur. Saya tak tahu apakah setelah esok hari, masalah yang melanda hatinya benar-benar pulih atau sebaliknya.   Benarkah, cerita di atas terbingkai dalam konteks cinta yang bermetamorfosis menjadi benci? Berikut sebuah sajak indah yang saya kutip dari Majalah Natural FMIPA Unila pada Juni 2009.   “Orang cinta tak kenal sajadah tak pula mahrab, berkelana di bintang-bintang yang tinggi, menyelam ke samudera air matanya, di situ didapatinya bintang-bintang berkelipan, seperti kejap-kejap kejora mata Sang Maha Ayu” “Orang cinta mana kenal gurita mana pula hiu, samuderanya dipenuhi ikan mas, ikan perak dan ikan mutiara. Sungguh tak semua samudera memiliki mutiara, namun hati orang cinta selalu berkilauan bak mata peri cantik yang menenung, ribuan perjaka hingga tercenung”    Imam Ghazali suatu ketika berujar: bahwa jika mata dibalut dengan cinta ia akan memandang yang indah-indah saja, sebaliknya jika mata dibalut dengan benci maka ia akan memandang yang keji-keji. Benarkah terminologi “Love is blind” atau cinta yang lamur? Ternyata cinta, benci, cemburu, empati atau simpati sebenarnya hanya masalah kecamuk hati, tinggal rasa apa yang tengah dominan. Itu saja intinya.   Hanya saja kecamuk hati dalam konteks ini sering kali bermakna bias atau mengandung paradoks. Dalam artian yang sederhana dapat dikatakan bahwa cinta dan benci bak dua sisi mata uang saat satu rasa mampu menegasi perasaan lainnya. Saya tak habis pikir kenapa kini Anang dan Syahrini begitu sengit saling serang dengan aroma ‘ketidaksukaan’ padahal tahun lalu keduanya selalu tampil mesra di berbagai kesempatan.   Mungkin sikap kita cenderung sebagai refleksi hati dan perasaan yang dominan seperti tertulis di atas. Namun, hati kita sayangnya kadang cenderung tak obyektif, sehingga efek domino dari semuanya tercermin dalam sikap yang kita perbuat. Karena kepatuhan kita pada perasaan tak jarang membuat diri terjebak dalam kondisi yang dilematis, atau malah lebih buruk lagi menjadi sebuah simalakama yang membunuh walau apapun pilihan yang diambil.   Keikutsertaan logika berpikir dalam kecamuk hati mestinya menjadi tawaran yang menarik. Adakalanya suasana hati mengeliminasi fakta, karena cenderung bias dalam rasa. Menjadi unik jika terlontar mengapa mencinta bila ada benci atau sebaliknya benci mengandung cinta...hmmm.   Artinya, cinta yang lamur sebenarnya karena kita cenderung menikmati hati sebagai penguasa raga. Aspek ruhiyah satu ini menjadi garda terdepan ketika kita memutuskan harus bagaimana. Padahal tak sepenuhnya benar jika hati sebening kaca, lalu akan melihat semua dengan jernih. Nurani boleh jadi selalu benar, tapi benarkah dalam kondisi apa pun dia pasti benar dan bersifat absolut? Maka sebenarnya hati dan nurani terdalam kita tak selamanya selalu memiliki interpretasi yang tepat. Dalam titik inilah logika kita dapat ikut berperan.   Saat hati yang mudah dirasuki rasa yang membelenggu, tak salah jika kita pun bertanya pada rasio yang selalu rasional. Meski rasa tak selalu beralasan, namun logika berpikir –meski tak mutlak benar-tak akan ‘menjerumuskan’.  Paling tidak rasio kita ikut membimbing hati yang gampang terenggut emosi dan suasana. Anomali perasaan inilah, yang kemudian melahirkan Selingkuh Hati.                                                 Rajabasa-Kalibalangan-Kelapa Tujuh, Medio Januari 2011

(Tulisan ini pernah tayang di facebook penulis @Azizi Zhica Suhupi, 20 Januari 2011)

Highlight

Selingkuh Hati

Makin lama saya makin tak mengerti artinya mencinta. Disadari atau tidak, semakin besar rasa cinta yang kita rasakan, ternyata semakin besar...

Sisipan